Al Qahirah in lam
yuqahhirha qahharak, jika kamu tidak mampu menundukkan kairo, maka
kairo lah yang akan menundukkanmu, begitulah kiranya kalimat yang
diungkapan oleh seorang Jauhar as-Siqli, panglima perang sultan Muiz Li
dinillah di zaman kekuasaan dinasti Fatimiyah di Mesir, pada awal mulanya
sultan Muiz lah yang menginstruksikan kepada Jauhar as Siqli supaya mencari suatu
tempat sebagai basis kekuasaannya pada masa itu, dan akhirnya kota inilah yang
dipilih oleh sang panglima dan dinamai dengan Kairo. Mungkin kalimat itu
terucap bukan tanpa alasan yang mendasarinya, namun ucapan itu keluar karena
sang panglima memang sejatinya mengetahui dengan benar kondisi kota Kairo ini,
bagaimana kehidupan yang ada disana, serta berbagai ragam persoalan lain yang
senantiasa mewarnai kehidupan disana.
Dari nama yang
dicetuskan oleh sang panglima inilah, sampai sekarang nama kota ini begitu
membahana di seantero jagad. Bicara mengenai Kairo, tentunya kita tidak akan
bisa melepaskannya dari nama al-Azhar, tepatnya di Kairo inilah terdapat masjid
al-Azhar, masjid megah dengan berbagai unsur latar sejarah yang begitu
berkesan, terkhusus bagi umat Islam. Masjid yang berdiri sejak lebih dari satu
abad yang lalu ini dulunya pernah di jadikan sebagai basis penyebaran aliran
Syiah di Mesir, sampai pada akhirnya sultan Shalahuddin al Ayyubi berhasil
menaklukkan dinasti Fatimiyah dan memindah tangankan masjid al-Azhar kepangkuan
umat Islam Sunni, dan bertahan sampai hari ini. Di masjid ini pulalah lahir
orang-orang besar, para ulama besar Islam lahir di masjid ini, karena memang
selain sebagai tempat ibadah, masjid al-Azhar adalah merupakan basis pengajaran
khazanah keilmuan Islam. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan beberapa tahun
berselang, sebagai bentuk perwujudan transformasi ilmu yang lebih formal,
berdirilah Universitas al-Azhar, tepatnya kira-kira 50 meter dari masjid
al-Azhar, tentunya sebelum mengalami berbagai perluasan dan pembangunan yang
tersebar di tempat lain di Kairo, bahkan di berbagai provinsi di Mesir.
Bicara tentang Kairo,
terlepas dari kemegahan masjid al azhar dan pengaruh besar universitas al-Azhar
yang merupakan Universitas tertua kedua setelah Universitas al-Qayrawan yang
berada di Maroko, kita harus menyadari bahwa kita sedang membicarakan ibu kota
suatu Negara, yang bagi kebanyakan orang, ibu kota adalah tolak ukur utama
suatu Negara, terlebih bagi orang asing, maka yang paling familiar di telinga
mereka, jelas ibu kota Negara tersebut, bukan mengherankan memang, karena di
Negara manapun, yang selalu menjadi sorotan adalah kondisi ibu kotanya, sebagai
padanan mungkin bisa kita tarik relasi dengan Negara kita nun jauh disana,
Indonesia, ibarat penyakit mungkin bisa dibilang kalau kondisi ibu kota kita
sudah sangat akut, berbagai persoalan ada disana, sebut saja salah satunya
ialah masalah GEPENG( gelandangan dan pengemis), yang seakan semakin hari
semakin bertambah, meski berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak terkait,
namun hasil akhir tidak berbanding lurus dengan realita yang ada,
GEPENG(gelandangan dan pengemis) pun bermunculan bak cendawan di musim
penghujan, terlebih ketika arus balik paska idul fitri, jumlahnya semakin
membludak di ibu kota, hal tersebut karena derasnya arus urbanisasi penduduk
desa yang mencoba mengadu nasib di ibu kota, namun tanpa diimbangi dengan life
skill yang memadai, akhirnya mau tidak mau mereka harus menjadi
GEPENG(gelandangan dan pengemis) untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kita endapkan sejenak
masalah yang ada di ibu kota Negara kita, kini yang sedang menjadi objek
sorotan adalah kota-nya Jauhar as-Siqli, kota Kairo. Kairo yang mungkin bagi
banyak orang yang belum pernah menginjakkan kaki nya di bumi para Nabi ini,
mungkin hanya bisa melihat sisi indah dari kota ini, karena memang yang tersaji
adalah demikian adanya, namun setelah kita menyelusuri jalanan kota ini, kita
akan menemukan hal yang sangat kontras dan mungkin belum pernah terbersit
dibenak kita sebelumnya.
meski permasalahan
yang ada tidak se akut di Jakarta, namun dalam permasalahan GEPENG(gelandangan
dan pengemis) ini, Kairo tidak jauh berbeda dengan Jakarta, hampir di sepanjang
jalanan kota Kairo akan sangat mudah kita temui pengemis yang acapkali
mengayunkan tanganya seiring dengan langkah para pejalan kaki didepannya, meski
dengan berbagai macam cara, mulai dari memberikan permen atau tisu terlebih
dahulu , atau bahkan dengan berceramah singkat terlebih dahulu, tapi, tetap
saja esensinya adalah mereka sama-sama meminta belas kasih dari orang lain.
Jum’at pagi, sang
pusat tata surya itu menyapa dengan begitu ramah, memancarkan sinar kehangatan
yang ,menghapus sisa-sisa embun semalam, secercah cahaya sebagai asupan energi
untuk memulai hari dengan pasti, meski sang angin mencoba merayu dengan sedikit
sentuhan dingin yang mencoba membuyarkan semangat yang sudah sampai di
ubun-ubun kepala. Salakan anjing mengiringi langkah kecilku dari ujung tepi
kota kairo, serasa sudah sangat biasa bagiku yang memang hampir setiap hari
melewati jalanan tersebut menuju mahattah bis Tabbah, sebuah desa di
ujung tepi kota Kairo, yang mungkin tak banyak dari mahasiswa Indonesia yang
tinggal di daerah ini, dengan perhitungan harus dua kali ganti bis kala pergi
kuliyah, dan memang terkesan agak kumuh, faktor lain yang lebih penting adalah
dari segi keamanan, karena daerah ini terkenal sebagai sarang penyamun, hal
tersebut sudah sangat familiar di benak para Masisir, maupun orang mesir asli
sendiri, namun selama aku belum menjumpai keganjilan-keganjilan atau
keamanan yang mengancamku, aku tetap pada prinsip, bahwa penyamun tidak akan
menyamun rumahnya sendiri.
Bis nomor 995, dengan
sabarnya menunggu para penumpang yang ingin menggunakan jasanya, dan kali ini
termasuk aku juga yang akan menggunakan jasanya, aku pilih tempat duduk paling
belakang, supaya bisa leluasa mengamati pemandangan sekitar yang mulai berbalut
debu. Bis melaju perlahan dan sejurus kemudian, kenek bus datang menghampiriku
untuk menagis ongkos bis, aku merogoh uang lima puluh pound dari dalam tas ku
dan kuserahkan kepadanya, masih ada kembalian empat puluh Sembilan pound
pikirku, karena memang ongkos bis di Mesir jauh dekat cuma satu pound, namun
seper sekian detik kemudian, suara kenek bis membuyarkan pikiran saya yang lagi
menghitung-hitung uang kembalian saya,
Maafisy fakkah?
Gak ada uang receh?, Tanyanya sambil mengayunkan kembali uang lima puluh
pound ke arahku,
Maafisy fakkah kholish
gak ada sama sekali, jawabku,
Izzay? Bagaimana
donk? , imbuhku,
Mesyi birohtak,
saajiblak ba’din ya sudah tidak apa-apa, akan ku kasihkan nanti,
jawabnya sambil pergi meninggalkanku,
Dari jawabannya aku
paham kalau dia belum ada kembalian, memang lagi sepi penumpang, karena hari
Jum’at adalah hari libur di Mesir, baik pekerja maupun pelajar banyak yang
biasanya bergelantungan di bis, sama sekali tidak Nampak batang hidungnya.
Tidak sampai
satu jam aku sudah sampai di kampus Universitas al-Azhar, jam di hand phone
menunjukkan pukul 9 pagi, dan tentunya kepergianku kali ini bukan untuk
kuliyah, karena hari Jum’at kuliyah juga libur, aku berjalan santai di sisi
kampus Universitas al-Azhar, namun sejurus kemudian mata ini
tertuju pada sebuah pemandangan yang hampir setiap hari memang sangat mudah
dijumpai di sepanjang pagar kampus al-Azhar, pengemis yang berjejer rapi di
sepanjang jalanan, menunggu rizkinya di Jumat barakah ini, meski mata ini sudah
sangat terbiasa dengan pemandangan tersebut, namun mumpung kali ini lagi libur
kuliyah, aku putuskan untuk menghampiri salah seorang dari mereka,
lumayan bisa kuliyah bahasa ammiyah Mesir sejenak,
Robbuna yuftah alaik,
Robbuna yunajjah, begitulah lantunan doa yang senantiasa keluar dari mulutnya,
Assalamualaikum yaa
umii, assalamualaikum bu sapaku
Alaikumuusalam yabnii,
alaikumussalam nak balasnya
Khaifa haalak yaa ummi
bagaimana kabarnya bu
Alhamdulillah bi khoir
Alhamdulillah baik
Hatlii fuluus yabni ma
akaltusy saya minta uangnya nak , saya belum makan terusnya,
Khuth yaa ummi ini
bu ambil,, Sembari saya kasihkan uang satu pound saya sertakan pula satu
potong kue isy dan satu tokmeya, keduanya adalah makanan khas Mesir, kue isy
mungkin ialah layaknya nasi bagi orang Indonesia, bukan karena di Mesir tidak
dijumpai nasi, tapi memang karena yang pokok bagi orang Mesir adalah kue isy
itu, sejalipun di meja tersedia nasi, tapi tetap saja disertakan kue isy.
Perempuan tua asal
Manshea itu bernama Nadiyah, umurnya lima puluh tahun, hari-hari tuanya ia
jalani dengan menjadi pengemis di dekat kampus Universitas al-Azhar, tepatnya
di samping pagar gedung fakultas syariah, di daerah Darrasah ini memang cuma
terdapat tiga fakultas, sedangkan fakultas-fakultas yang lain tempatnya
terpisah, tentunya dengan gedung yang lebih baru, tiga fakultas di gedung lama universitas
al-Azhar ini ialah fakultas bahasa arab, ushuluddin dan tentunya fakultas
syariah, sempat ada wacana bahwa gedung lama ini mau ditutup dan perkuliyahan
semuanya di konsentrasikan di satu kawasan bersama gedung-gedung fakultas yang
baru, tapi entah apa masalahnya, sehingga itu cuma beredar sebagai wacana dan
tak kunjung diwujudkan, namun apapun masalahnya, jelas tidak gampang untuk me
non aktifkan gedung yang berdiri di awal sejarah universitas al-Azhar ini,
banyak sejarah yang telah lahir dari rahim gedung tua tersebut.
keadaan memang yang
memaksanya untuk menjalani aktifitas tersebut, ekonomi keluarga tentunya yang
menjadi latar belakang semua itu, apalagi sepeninggal suaminya sepuluh tahun
yang lalu, ia terpaksa menjadi penopang utama ekonomi keluarga,
Ana asuffak kulla yaum
hina ya ummi aku melihatmu tiap hari disini bu
Aywa, min sa’ah
tsamaniyah ilaa sa’ah arba’ah ba’da al ashr ana hina iya, dari jam delapan
pagi sampai jam empat sore saya disini
Kam ta’khuth
fulus kulla yaum yaa ummi? Berapa uang yang bisa anda dapatkan tiap
harinya bu?
Mumkin khomsah au
asroh au isriin mungkin sekitar lima, sepuluh atau dua puluh pound,
Mendengar jawaban dari
ibu tua itu, aku jadi berpikir, bagaimana mungkin ia bisa hidup dengan uang
cuma segitu, memang bisa dibilang kebutuhan makan sehari-hari di Mesir
tergolong sangat murah, namun yang jelas orang hidup itu tidak hanya butuh
makan saja, banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi, apalagi kalau ditambah
kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak terduga, tentunya uang segitu jauh dari
cukup.
Cuma sesaat memang aku
berbincang dengannya, tapi aku cukup bisa menarik kesimpulan bahwa Mesir
mengalami permasalahan yang walaupun tidak sama, tapi mirip dengan yang di
alami Indonesia tentang permasalahan GEPENG(gelandangan dan pengemis) ini.
Aku pun mulai beranjak
dari tempat duduk ku di samping pengemis itu, melihat aku mulai akan berdiri
meninggalkannya, ia pun kemudian menegurku kembali,
Yabni, hatlii fulus
kaman kasih saya uang lagi nak,
Kholas yaa ummi sudah
itu tadi bu, jawabku sambil berjalan meninggalkannya,
Tentunya bukan karena
aku tidak peduli, tapi memang cukuplah dulu segitu pemberianku.
Ibu tua tadi mungkin
telah mewakili dari sekian banyak penduduk Mesir yang tergolong sebagai warga
miskin. Pada pertengahan bulan Februari tahun 2013, Badan Statistik Mesir
menyebutkan bahwa dari 84 juta populasi penduduk Mesir, 50% diantaranya berada
di bawah garis kemiskinan, sangat memprihatinkan memang, kondisi inipun semakin
parah, dengan belum stabilnya situasi dalam negeri Mesir semenjak seusai
reformasi 25 Januari 2011 silam.
Sang surya pun mulai
meninggi, mulai sedikit terasa panas diubun-ubun kepala, namun aku tidak mau
jum’at ku kali ini sia-sia, kulangkahkan lagi kaki yang sudah mulai berat ini,
menuju pelataran masjid Sayyidina Husain, masjid ini letaknya tidak jauh dari
masjid al-Azhar, tidak sampai lima menit jalan kaki, masjid ini hampir tiap
hari ramai, karena di dalam masjid ini, ada makam salah seorang cucu Nabi
Muhammad, yaitu Sayyidina Husain, sesuai dengan nama masjid tersebut, selain
itu,di dalam masjid ini juga terdapat peninggalan-peninggalan sejarah Islam,
salah satunya ialah pedang Dzulqarnain, pedang Nabi yang kemudian
diberikan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Sembari berjalan, aku
teringat adagium dari seorang bapak ekonomi dunia, Adam Smith, bahwa tidak
mungkin suatu masyarakat bisa berkembang dengan subur dan bahagia, apabila
sebagian besar warganya hidup dalam keadaan miskin dan sengsara, adagium yang
mengingatkanku pada seorang ibu tua dengan masalah yang dihadapinya, serta
banyak lagi warga Mesir lainnya. Suatu keadaan yang sebelumnya sama sekali
tidak pernah terlintas di pikiranku ketika aku membayangkan Negara nan cantik
jelita bak Cleopatra, Negara yang begitu mempesona dengan kemegahan al-Azhar
dan perkasanya sang piramida, Negara dengan keindahan panorama sungai Nil dan
Alexandria, dan ternyata Mesir tidak seindah ayat-ayat cintanya Kang Abik.
Satu benang merah
dapat ditarik mengenai permasalahan Mesir dan Indonesia, yaitu masalah
kemiskinan yang merebak di seantero penjuru negeri, padahal sejatinya hal
tersebut aku yakin bisa di atasi atau paling tidak, minimal bisa di minimalisir
jumlahnya, tentunya dengan penanganan yang tepat dan juga peran penting
pemerintah dan lembaga terkait tentunya jadi hal yang sangat berpengaruh dan
menentukan akan hadirnya solusi yang tepat untyuk mengatasi permasalah
tersebut, sehingga masyarakat bisa menikmati kebahagiaan dalam
kesehariannya, bukan malah menderita dalam setiap jengkal langkahnya, bukankah kebahagiaan
itu adalah hak setiap jiwa, jikalau segolongan masyarakat bisa merasakan
kebahagiaan tersebut, mengapa segolongan yang lain tidak bisa merasakannya. Dan
memang kebahagiaan itu milik presiden, tapi kebahagiaan juga milik pengamen,
kebahagiaan milik menteri, tapi kebahagiaan pun milik petani, kebahagiaan
milik artis, tapi kebahagiaan pun milik pengemis.
Oleh Fahrudin Al Brengkoi