Jumat, 06 Juni 2014

perempuan tua seberang kampus al azhar



Al Qahirah in lam yuqahhirha qahharak, jika kamu tidak mampu menundukkan kairo, maka kairo lah yang akan menundukkanmu, begitulah kiranya kalimat yang diungkapan oleh seorang Jauhar as-Siqli, panglima perang sultan Muiz Li dinillah di zaman kekuasaan dinasti Fatimiyah di Mesir, pada awal mulanya sultan Muiz lah yang menginstruksikan kepada Jauhar as Siqli supaya mencari suatu tempat sebagai basis kekuasaannya pada masa itu, dan akhirnya kota inilah yang dipilih oleh sang panglima dan dinamai dengan Kairo. Mungkin kalimat itu terucap bukan tanpa alasan yang mendasarinya, namun ucapan itu keluar karena sang panglima memang sejatinya mengetahui dengan benar kondisi kota Kairo ini, bagaimana kehidupan yang ada disana, serta berbagai ragam persoalan lain yang senantiasa mewarnai kehidupan disana.

Dari nama yang dicetuskan oleh sang panglima inilah, sampai sekarang nama kota ini begitu membahana di seantero jagad. Bicara mengenai Kairo, tentunya kita tidak akan bisa melepaskannya dari nama al-Azhar, tepatnya di Kairo inilah terdapat masjid al-Azhar, masjid megah dengan berbagai unsur latar sejarah yang begitu berkesan, terkhusus bagi umat Islam. Masjid yang berdiri sejak lebih dari satu abad yang lalu ini dulunya pernah di jadikan sebagai basis penyebaran aliran Syiah di Mesir, sampai pada akhirnya sultan Shalahuddin al Ayyubi berhasil menaklukkan dinasti Fatimiyah dan memindah tangankan masjid al-Azhar kepangkuan umat Islam Sunni, dan bertahan sampai hari ini. Di masjid ini pulalah lahir orang-orang besar, para ulama besar Islam lahir di masjid ini, karena memang selain sebagai tempat ibadah, masjid al-Azhar adalah merupakan basis pengajaran khazanah keilmuan Islam. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan beberapa tahun berselang, sebagai bentuk perwujudan transformasi ilmu yang lebih formal, berdirilah Universitas al-Azhar, tepatnya kira-kira 50 meter dari masjid al-Azhar, tentunya sebelum mengalami berbagai perluasan dan pembangunan yang tersebar di tempat lain di Kairo, bahkan di berbagai provinsi di Mesir.

Bicara tentang Kairo, terlepas dari kemegahan masjid al azhar dan pengaruh besar universitas al-Azhar yang merupakan Universitas tertua kedua setelah Universitas al-Qayrawan yang berada di Maroko, kita harus menyadari bahwa kita sedang membicarakan ibu kota suatu Negara, yang bagi kebanyakan orang, ibu kota adalah tolak ukur utama suatu Negara, terlebih bagi orang asing, maka yang paling familiar di telinga mereka, jelas ibu kota Negara tersebut, bukan mengherankan memang, karena di Negara manapun, yang selalu menjadi sorotan adalah kondisi ibu kotanya, sebagai padanan mungkin bisa kita tarik relasi dengan Negara kita nun jauh disana, Indonesia, ibarat penyakit mungkin bisa dibilang kalau kondisi ibu kota kita sudah sangat akut, berbagai persoalan ada disana, sebut saja salah satunya ialah masalah GEPENG( gelandangan dan pengemis), yang seakan semakin hari semakin bertambah, meski berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak terkait, namun hasil akhir tidak berbanding lurus dengan realita yang ada, GEPENG(gelandangan dan pengemis) pun bermunculan bak cendawan di musim penghujan, terlebih ketika arus balik paska idul fitri, jumlahnya semakin membludak di ibu kota, hal tersebut karena derasnya arus urbanisasi penduduk desa yang mencoba mengadu nasib di ibu kota, namun tanpa diimbangi dengan life skill yang memadai, akhirnya mau tidak mau mereka harus menjadi GEPENG(gelandangan dan pengemis) untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kita endapkan sejenak masalah yang ada di ibu kota Negara kita, kini yang sedang menjadi objek sorotan adalah kota-nya Jauhar as-Siqli, kota Kairo. Kairo yang mungkin bagi banyak orang yang belum pernah menginjakkan kaki nya di bumi para Nabi ini, mungkin hanya bisa melihat sisi indah dari kota ini, karena memang yang tersaji adalah demikian adanya, namun setelah kita menyelusuri jalanan kota ini, kita akan menemukan hal yang sangat kontras dan mungkin belum pernah terbersit dibenak kita sebelumnya.

meski permasalahan yang ada tidak se akut di Jakarta, namun dalam permasalahan GEPENG(gelandangan dan pengemis) ini, Kairo tidak jauh berbeda dengan Jakarta, hampir di sepanjang jalanan kota Kairo akan sangat mudah kita temui pengemis yang acapkali mengayunkan tanganya seiring dengan langkah para pejalan kaki didepannya, meski dengan berbagai macam cara, mulai dari memberikan permen atau tisu terlebih dahulu , atau bahkan dengan berceramah singkat terlebih dahulu, tapi, tetap saja esensinya adalah mereka sama-sama meminta belas kasih dari orang lain.

Jum’at pagi, sang pusat tata surya itu menyapa dengan begitu ramah, memancarkan sinar kehangatan yang ,menghapus sisa-sisa embun semalam, secercah cahaya sebagai asupan energi  untuk memulai hari dengan pasti, meski sang angin mencoba merayu dengan sedikit sentuhan dingin yang mencoba membuyarkan semangat yang sudah sampai di ubun-ubun kepala. Salakan anjing mengiringi langkah kecilku dari ujung tepi kota kairo, serasa sudah sangat biasa bagiku yang memang hampir setiap hari melewati jalanan tersebut menuju mahattah bis Tabbah, sebuah desa di ujung tepi kota Kairo, yang mungkin tak banyak dari mahasiswa Indonesia yang tinggal di daerah ini, dengan perhitungan harus dua kali ganti bis kala pergi kuliyah, dan memang terkesan agak kumuh, faktor lain yang lebih penting adalah dari segi keamanan, karena daerah ini terkenal sebagai sarang penyamun, hal tersebut sudah sangat familiar di benak para Masisir, maupun orang mesir asli sendiri,  namun selama aku belum menjumpai keganjilan-keganjilan atau keamanan yang mengancamku, aku tetap pada prinsip, bahwa penyamun tidak akan menyamun rumahnya sendiri. 

Bis nomor 995, dengan sabarnya menunggu para penumpang yang ingin menggunakan jasanya, dan kali ini termasuk aku juga yang akan menggunakan jasanya, aku pilih tempat duduk paling belakang, supaya bisa leluasa mengamati pemandangan sekitar yang mulai berbalut debu. Bis melaju perlahan dan sejurus kemudian, kenek bus datang menghampiriku untuk menagis ongkos bis, aku merogoh uang lima puluh pound dari dalam tas ku dan kuserahkan kepadanya, masih ada kembalian empat puluh Sembilan pound pikirku, karena memang ongkos bis di Mesir jauh dekat cuma satu pound, namun seper sekian detik kemudian, suara kenek bis membuyarkan pikiran saya yang lagi menghitung-hitung uang kembalian saya,
 Maafisy fakkah? Gak ada uang receh?, Tanyanya sambil mengayunkan kembali uang lima puluh pound ke arahku,
Maafisy fakkah kholish gak ada sama sekali, jawabku,
Izzay? Bagaimana donk? , imbuhku,
Mesyi birohtak, saajiblak ba’din ya sudah tidak apa-apa, akan ku kasihkan nanti, jawabnya sambil pergi meninggalkanku,
Dari jawabannya aku paham kalau dia belum ada kembalian, memang lagi sepi penumpang, karena hari Jum’at adalah hari libur di Mesir, baik pekerja maupun pelajar banyak yang biasanya bergelantungan di bis, sama sekali tidak Nampak batang hidungnya.

 Tidak sampai satu jam aku sudah sampai di kampus Universitas al-Azhar, jam di hand phone menunjukkan pukul 9 pagi, dan tentunya kepergianku kali ini bukan untuk kuliyah, karena hari Jum’at kuliyah juga libur, aku berjalan santai di sisi kampus Universitas  al-Azhar, namun sejurus kemudian  mata ini tertuju pada sebuah pemandangan yang hampir setiap hari memang sangat mudah dijumpai di sepanjang pagar kampus al-Azhar, pengemis yang berjejer rapi di sepanjang jalanan, menunggu rizkinya di Jumat barakah ini, meski mata ini sudah sangat terbiasa dengan pemandangan tersebut, namun mumpung kali ini lagi libur kuliyah,  aku putuskan untuk menghampiri salah seorang dari mereka, lumayan bisa kuliyah bahasa ammiyah Mesir sejenak,
Robbuna yuftah alaik, Robbuna yunajjah, begitulah lantunan doa yang senantiasa keluar dari mulutnya,
Assalamualaikum yaa umii, assalamualaikum bu sapaku
Alaikumuusalam yabnii, alaikumussalam nak balasnya
Khaifa haalak yaa ummi bagaimana kabarnya bu
Alhamdulillah bi khoir Alhamdulillah baik
Hatlii fuluus yabni ma akaltusy saya minta uangnya nak ,  saya belum makan terusnya,
Khuth yaa ummi ini bu ambil,, Sembari saya kasihkan uang satu pound saya sertakan pula satu potong kue isy dan satu tokmeya, keduanya adalah makanan khas Mesir, kue isy mungkin ialah layaknya nasi bagi orang Indonesia, bukan karena di Mesir tidak dijumpai nasi, tapi memang karena yang pokok bagi orang Mesir adalah kue isy itu, sejalipun di meja tersedia nasi, tapi tetap saja disertakan kue isy.

Perempuan tua asal Manshea itu bernama Nadiyah, umurnya lima puluh tahun, hari-hari tuanya ia jalani dengan menjadi pengemis di dekat kampus Universitas al-Azhar, tepatnya di samping pagar gedung fakultas syariah, di daerah Darrasah ini memang cuma terdapat tiga fakultas, sedangkan fakultas-fakultas yang lain tempatnya terpisah, tentunya dengan gedung yang lebih baru, tiga fakultas di gedung lama universitas al-Azhar ini ialah fakultas bahasa arab, ushuluddin dan tentunya fakultas syariah, sempat ada wacana bahwa gedung lama ini mau ditutup dan perkuliyahan semuanya di konsentrasikan di satu kawasan bersama gedung-gedung fakultas yang baru, tapi entah apa masalahnya, sehingga itu cuma beredar sebagai wacana dan tak kunjung diwujudkan, namun apapun masalahnya, jelas tidak gampang untuk me non aktifkan gedung yang berdiri di awal sejarah universitas al-Azhar ini, banyak sejarah yang telah lahir dari rahim gedung tua tersebut. 

keadaan memang yang memaksanya untuk menjalani aktifitas tersebut, ekonomi keluarga tentunya yang menjadi latar belakang semua itu, apalagi sepeninggal suaminya sepuluh tahun yang lalu, ia terpaksa menjadi penopang utama ekonomi keluarga,
Ana asuffak kulla yaum hina ya ummi aku melihatmu tiap hari disini bu
Aywa, min sa’ah tsamaniyah ilaa sa’ah arba’ah ba’da al ashr ana hina iya, dari jam delapan pagi sampai jam empat sore saya disini
Kam ta’khuth fulus  kulla yaum yaa ummi? Berapa uang yang bisa anda dapatkan tiap harinya bu?
Mumkin khomsah au asroh au isriin mungkin sekitar lima, sepuluh atau dua puluh pound,
Mendengar jawaban dari ibu tua itu, aku jadi berpikir, bagaimana mungkin ia bisa hidup dengan uang cuma segitu, memang bisa dibilang kebutuhan makan sehari-hari di Mesir tergolong sangat murah, namun yang jelas orang hidup itu tidak hanya butuh makan saja, banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi, apalagi kalau ditambah kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak terduga, tentunya uang segitu jauh dari cukup.
Cuma sesaat memang aku berbincang dengannya, tapi aku cukup bisa menarik kesimpulan bahwa Mesir mengalami permasalahan yang walaupun tidak sama, tapi mirip dengan yang di alami Indonesia tentang permasalahan GEPENG(gelandangan dan pengemis) ini.
Aku pun mulai beranjak dari tempat duduk ku di samping pengemis itu, melihat aku mulai akan berdiri meninggalkannya, ia pun kemudian menegurku kembali,
Yabni, hatlii fulus kaman kasih saya uang lagi nak,
Kholas yaa ummi sudah itu tadi bu, jawabku sambil berjalan meninggalkannya,
Tentunya bukan karena aku tidak peduli, tapi memang cukuplah dulu segitu pemberianku.
Ibu tua tadi mungkin telah mewakili dari sekian banyak penduduk Mesir yang tergolong sebagai warga miskin. Pada pertengahan bulan Februari tahun 2013, Badan Statistik Mesir menyebutkan bahwa dari 84 juta populasi penduduk Mesir, 50% diantaranya berada di bawah garis kemiskinan, sangat memprihatinkan memang, kondisi inipun semakin parah, dengan belum stabilnya situasi dalam negeri Mesir semenjak seusai reformasi 25 Januari 2011 silam.

Sang surya pun mulai meninggi, mulai sedikit terasa panas diubun-ubun kepala, namun aku tidak mau jum’at ku kali ini sia-sia, kulangkahkan lagi kaki yang sudah mulai berat ini, menuju pelataran masjid Sayyidina Husain, masjid ini letaknya tidak jauh dari masjid al-Azhar, tidak sampai lima menit jalan kaki, masjid ini hampir tiap hari ramai, karena di dalam masjid ini, ada makam salah seorang cucu Nabi Muhammad, yaitu Sayyidina Husain, sesuai dengan nama masjid tersebut, selain itu,di dalam masjid ini juga terdapat peninggalan-peninggalan sejarah Islam, salah satunya ialah pedang Dzulqarnain, pedang Nabi yang kemudian diberikan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Sembari berjalan, aku teringat adagium dari seorang bapak ekonomi dunia, Adam Smith, bahwa tidak mungkin suatu masyarakat bisa berkembang dengan subur dan bahagia, apabila sebagian besar warganya hidup dalam keadaan miskin dan sengsara, adagium yang mengingatkanku pada seorang ibu tua dengan masalah yang dihadapinya, serta banyak lagi warga Mesir lainnya. Suatu keadaan yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku ketika aku membayangkan Negara nan cantik jelita bak Cleopatra, Negara yang begitu mempesona dengan kemegahan al-Azhar dan perkasanya sang piramida, Negara dengan keindahan panorama sungai Nil dan Alexandria, dan ternyata Mesir tidak seindah ayat-ayat cintanya Kang Abik.

Satu benang merah dapat ditarik mengenai permasalahan Mesir dan Indonesia, yaitu masalah kemiskinan yang merebak di seantero penjuru negeri, padahal sejatinya hal tersebut aku yakin bisa di atasi atau paling tidak, minimal bisa di minimalisir jumlahnya, tentunya dengan penanganan yang tepat dan juga peran penting pemerintah dan lembaga terkait tentunya jadi hal yang sangat berpengaruh dan menentukan akan hadirnya solusi yang tepat untyuk mengatasi permasalah tersebut,  sehingga masyarakat bisa menikmati kebahagiaan dalam kesehariannya, bukan malah menderita dalam setiap jengkal langkahnya, bukankah kebahagiaan itu adalah hak setiap jiwa, jikalau segolongan masyarakat  bisa merasakan kebahagiaan tersebut, mengapa segolongan yang lain tidak bisa merasakannya. Dan memang kebahagiaan itu milik presiden, tapi kebahagiaan juga milik pengamen, kebahagiaan milik menteri, tapi kebahagiaan pun milik petani,  kebahagiaan milik artis, tapi kebahagiaan pun milik pengemis.

Oleh Fahrudin Al Brengkoi