Rabu, 27 Februari 2013

Hak Istri atas suami.

Syariat mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya yang berupa  kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing, atau seperti yang dikatakan oleh  Al-Qur’an “bil ma’ruf” (menurut cara yang ma’ruf/patut).
Namun syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang  manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: “Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu.”
Bahkan Al-Qur’an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Rum: 21)
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami istri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan,  bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami istri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru—padahal diri mereka sebenarnya baik—ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap istri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (istri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami istri dan adab pergaulan di antara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Di antara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah itu ialah berakhlaq yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya.
Allah berfirman: “… Dan gaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (patut)…” (QS An Nisa’: 19)
“… Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa’: 21)
“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,  orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…” (QS An Nisa’: 36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman sejawat” dalam ayat di atas ialah istri. Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa berakhlaq baik kepada mereka (istri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW. Istri-istri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela.”
Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu?”
Beliau menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad,’ dan bila engkau  marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’
Aisyah  menjawab, “Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa di samping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan istri, juga bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah SAW biasa bergurau dengan istri-istri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlaq, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar bin Al-Khathab—yang dikenal berwatak keras itu—pernah berkata, “Seyogianya sikap suami terhadap istrinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki.”
Dalam menafsirkan hadits: “Sesungguhnya Allah membenci alja’zhari al-jawwazh,”  dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap keras terhadap istri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna firman Allah: ‘utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah SAW. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan agama, memelihara jamaah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau tetap sangat memperhatikan para istrinya. Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri  ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Namun sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak istri-istri beliau yang harus beliau penuhi. Jadi aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.
Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli istri, Imam Ibnu Qayyim berkata, “Sikap Rasulullah SAW terhadap istri-istrinya ialah bergaul dan berakhlaq baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila istrinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari  suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah.”
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al-Qur’an sedang kepala  beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau  menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan pernah juga  menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.
Di antara kelemah-lembutan dan akhlaq baik beliau lagi ialah beliau memperkenankan istrinya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan orang-orang  Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.
Sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”
Apabila selesai melaksanakan shalat Ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) istri-istrinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah istri beliau yang pada waktu itu mendapat giliran. Aisyah berkata, “Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang  lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap istri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada istri  yang menjadi  giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ.”
Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip di sini mengenai petunjuk Nabi SAW tentang pergaulan beliau dengan istri-istri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi  beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih. Namun ini bukan berarti beliau   bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.
Beliau menikahi Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan di sini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja. Bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting  dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat  Nabi SAW selalu ingat aspek tersebut  dan senantiasa memberikan haknya serta tidak  pernah melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar, seperti mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu.” 

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, DR. Yusuf Qaradhawi
(RoL)
Redaktur: HendratnoKeyword: , ,
dakwatuna.com

Ziarah kubur

Dalam tradisi Islam, ziarah kubur merupakan bagian dari ritual keagamaan. Seluruh umat Islam diseluruh penjuru dunia telah melakukannya.

Pada zaman permulaan Islam berkembang Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menziarahi kuburan. Larangan ini lantaran kekhawatiran terjadi kesyirikan dan pemujaan terhadap kuburan tersebut. Apalagi bila yang meninggal itu termasuk orang-orang yang saleh. Disamping itu, keimanan para sahabat waktu itu masih lemah dan membutuhkan pembinaan dari Rasulullah SAW.

Peringatan tersebut tidak hanya ditujukan kepada para sahabat, tetapi juga kepada umat Islam sekarang ini. Ternyata, kalau kita perhatikan apa yang dikhawatirkan Rasulullah SAW memang terjadi saat ini.

Banyak kaum muslimin yang salah dalam menerapkan ziarah kubur. Mereka melakukan ziarah kubur hanya sekedar mengikuti adat dan tradisi daerah. Sehingga syariat Islam bercampur tradisi yang sesat.

Hikmah dan manfaat ziarah kubur

Ziarah kubur banyak memiliki hikmah dan manfaat, di antara yang terpenting adalah :
1. Mengingatkan tentang hari akhirat dan kematian sehingga dapat memberikan pelaja ran dan ibrah bagi orang yang berziarah, sehingga dapat memberikan dampak yang positif dalam kehidaupan.

2. Mendoakan keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dan memohon ampunan untuk mereka atas segala amalan di dunia.
3. Untuk menghidupkan sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

4. Untuk mendapatkan pahala kebaikan dari Allah dengan ziarah kubur yang dilakukannya.

Ziarah kubur adalah  wasilah untuk taqwa kepada Allah
Melihat kuburan yang sunyi, gelap, timbunan tanah diatasnya akan menggerakkan hati dan jiwa manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Bila seseorang melihatnya lebih dalam lagi maka akan berkata pada dirinya sendiri; ''Kehidupan dunia adalah sementara karenanya beberapa saat lagi akan berakhir dengan kemusnahan seluruh kebutuhan materi yang selama ini dicari dengan berbagai cara, adakah bekal ruhani yang telah dipersiapkan untuk kehidupan di alam sana?''
Menyaksikan nisan-nisan dapat melembutkan hati yang paling keras sekalipun, membuat pendengaran yang paling tuli dan memberikan cahaya kepada penglihatan yang paling samar. Menyebabkan orang melihat kembali cara hidupnya, mengevaluasinya, berpikir mengenai pertanggungjawabannya yang berat dihadapan Allah dan manusia serta terhadap kurangnya amal kebajikan yang telah dibuat.
Disamping itu, ziarah kubur, terutama kepada para Nabi dan orang-orang saleh, dapat memberikan berkah dan tempat untuk mendapatkan wasilah serta syafaat dalam perjalanan ruhani menuju Allah SWT. Kelak, kata Rasulullah, dalam hadisnya, ''di akhirat ketika tidak ada lagi pembela di hadapan Allah Ta'ala, kalian akan mendapatkan syafaat dariku, ahlul baitku, para syuhada dan orang-orang saleh diantara kalian.''
Di dalam Al-Quran disebutkan antara lain tugas Rasulullah SAW (dilanjutkan para ulama) dalam membimbing umat manusia adalah mensucikan hati. ''Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Susungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.''(QS.62:2).

Sunnah-sunnah dalam ziarah kubur
Manfaat dan hikmah yang telah tersebut diatas dapat diperoleh dengan sempurna apabila seseorang yang akan melakukan ziarah kubur harus mengetahui sunnah dan tata cara berziarah yang benar sesuai tuntunan syari’at.

Diantara petunjuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ziarah kubur adalah sebagai berikut:
1.  Ziarah kubur dapat dilakukan setiap saat dan kapan saja,  tidak ada kekhususan hari atau waktu tertentu karena salah satu inti dari ziarah kubur adalah agar dapat memberi pelajaran dan peringatan agar hati yang keras menjadi lunak, hati tersentuh sehingga menitikkan air mata. Selain itu agar kita menyampaikan do’a dan salam untuk mereka yang telah mendahului kita memasuki alam kubur.
2.  Ketika ziarah kubur disertai dalam benak kita rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya dan hanya bertujuan mencari keridhaan-Nya semata.

3. Mengucapakan salam kepada ahli kubur, mendoakan mereka agar mendapatkan rahmat, ampunan dan afiyah (kekuatan). Diantara doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah yang artinya : "Keselamatan semoga terlimpah kepada para penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (meninggal) diantara kami dan yang belakangan, insya Allah kami semua akan menyusul (Anda)". (lafazh ini berdasar riwayat Imam Muslim).
Bid'ah-bid'ah dalam ziarah kubur
Kitab Shahih Muslim bi Syarah Imam Nawawi dijelaskan sebagai berikut:
والمراد غالب البدع . قال أهل اللغة : هي كل شيء عمل على غير مثال سابق
“Dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh yang terlebih dahulu.”
Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian-pengertian bid’ah tersebut diantaranya:
البدعة: طريقة مستحدثة في الدين، يراد بها التعبد، تخالف الكتاب، والسنة وإجماع سلف الأمة
“Bid’ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk ta’abudi, bertentangan dengan al Kitab (al qur`an), As Sunnah dan ijma’ umat terdahulu.
البدعة في مقابل السنة، وهي : (ما خالفت الكتاب والسنة أو إجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات) ، أو هي بمعنى أعم : (ما لم يشرعه الله من الدين.. فكل من دان بشيء لم يشرعه الله فذاك بدعة
Bid’ah adalah kebalikannya dari sunnah, dan dia itu apa-apa yang bertentangan dengan al qur`an, as sunnah, dan ijma’ umat terdahulu, baik keyakinnanya atau peribadahannya, atau dia itu bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di syari’atkan Allah dalam agama…maka segala dari sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
الْبِدْعَةُ فِي الشَّرِيعَةِ إحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bid’ah dalam syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasulullah shalallahu ta’ala ‘alaihi sallam.
وَعَنْ الْهَرَوِيِّ الْبِدْعَةُ الرَّأْيُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ الْكِتَابِ وَلَا مِنْ السُّنَّةِ
Dan dari al Harawi bahwa bid’ah ialah pendapat pikiran yang tidak ada padanya dari kitab (al Qur`an) dan as Sunnah.
Ibnu Hajar al As Qalani dalam Fathul Bari menjelaskan
والمراد بقوله ” كل بدعة ضلالة ” ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
Dan yang dimaksud dengan sabdanya; “Setiap bid’ah adalah sesat” yakni apa yang diadakan dan tanpa dalil padanya dari syari’at baik dengan jalan khusus maupun umum.” (Catatan: lihat Fathul Bari bi syarah Shahih Bukhari Kitab Al I’thisham bikitabi wa sunnah, ketika menjelaskan hadist “sebaik-baiknya ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dst).
Menurut As-Syahtibi:  ‘Bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah ta’ala. (A Dani Permana dalam 'Pengertian Bid'ah)
Inilah beberapa hal bid'ah saat ziarah kubur

1. Mengkhususkan hari-hari tertentu dalam melakukan ziarah kubur, seperti harus pada hari Jum’at, tujuh atau empat puluh hari setelah kematian, pada hari raya dan sebagainya. Semua itu tak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan beliaupun tidak pernah mengkhususkan hari-hari tertentu untuk berziarah kubur.
2. Thawaf (mengelilingi) kuburan, beristighatsah (minta perlindungan) kepada penghuninya terutama sering terjadi dikuburan orang shalih, ini termasuk syirik besar. Demikian pula menyembelih disisi kuburan dan ditujukan untuk si mayit.
3. Menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid untuk pelaksanaan ibadah dan acara-acara ritual.
4. Sujud, membungkuk kearah kuburan, kemudian mencium dan mengusapnya.
5. Shalat diatas kuburan, ini tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah bagi yang ketinggalan dalam menyolatkan si mayit.

6. Membagikan makanan atau mengadakan acara makan-makan di kuburan.

7. Membangun kubur, memberi penerangan (lampu), memasang selambu atau tenda diatasnya.

8. Menaburkan bunga-bunga dan pelepah pepohonan diatas pusara kubur. 

9. Memasang prasasti baik dari batu marmer maupun kayu dengan menuliskan nama, umur, tanggal lahir dan wafatnya si mayit.

10. Mempunyai persangkaan bahwa berdo’a dikuburan itu mustajab sehingga harus memilih tempat tersebut.

11. Membawa dan membaca Mushaf Al Qur’an diatas kubur, dengan keyakinan bahwa membaca disitu memiliki keutamaan. Juga mengkhususkan membaca surat Yasin dan Al Fatihah untuk para arwah.

12. Ziarahnya para wanita ke kuburan, padahal dalam hadits Rasulullah jelas-jelas telah bersabda: “Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid.” (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlus sunan secara marfu’)

13. Meninggikan gundukan kubur melebihi satu dhira’ (sehasta) yakni kurang lebih 40cm.
14. Berdiri didepan kubur sambil bersedekap tangan layaknya orang yang sedang shalat (terkesan meratapi atau mengheningkan cipta, red).

15. Buang hajat diatas kubur.
16. Membangun kubah, menyemen dan menembok kuburan dengan batu atau batu bata

17. Memakai sandal ketika memasuki komplek pemakaman, namun dibolehkan jika ada hal yang mambahayakan seperti duri, kerikil tajam atau pecahan kaca dan sebagainya, atau ketika sangat terik dan kaki tidak tahan untuk menginjak tanah yang panas.
18. Membaca dzikir-dzikir tertentu ketika membawa jenazah, demikian pula mengantar jenazah dengan membawa tempat pedupaan untuk membakar kayu cendana atau kemenyan.

19. Duduk diatas kuburan

20. Membawa jenazah dengan sangat pelan-pelan dan langkah yang lambat, ini termasuk meniru ahli kitab Yahudi dan menyelisihi sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
21. Menjadikan kuburan sebagai ied dan tempat berkumpul untuk menyelenggarakan acara-acara ibadah disana.
Kesimpulan :

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya ziarah kubur itu ada dua macam:
1. Ziarah syar’iyah yang diizinkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dalam ziarah ini ada dua tujuan, pertama bagi yang melakukan ziarah akan dapat mengambil pelajaran dan peringatan. Kedua bagi mayit, ia akan mendapatkan ucapan salam dan doa dari orang yang berziarah.

2. Ziarah bid’iyah yaitu ziarah kubur untuk tujuan-tujuan tertentu bukan sebagaimana yang tersebut diatas, di antaranya untuk shalat disana, thawaf, mencium dan mengusap-usapnya, mengambil sebagian dari tanah atau batunya untuk tabaruk, dan memohon kepada penghuni kubur agar dapat memberi pertolongan, kelancaran rizki, kesehatan, keturunan atau agar dapat melunasi hutang dan terbebas dari segala petaka dan marabahaya dan permintaan-permintaan lain yang hanya biasa dilakukan oleh para penyembah berhala dan patung saja.
Maka selayaknya setiap muslim berpegang dengan ajaran agamanya, dengan kitabullah dan sunnah nabinya serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat yang tidak pernah diajarkan dalam Islam. Dengan itu maka akan diperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak, karena seluruh kebaikan itu ada dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, sedang keburukan selalu ada dalam kemaksiatan dan ketidaktaatan. Allahu A'lam. (H)

Disadur dari risalah Abu Zahra dari Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin, Ngruki.

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن عبد الوهاب التميمى) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".


Genealogi

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya ini diperoleh silsilah keluarganya.

Biografi

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka karena mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab iaitu bapa kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun(3) (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.

Masa Kecil

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.

Kehidupannya di Madinah

Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.
Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah.

Belajar dan berdakwah di Basrah

Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan belajar kepada bapanya. Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan perselisihan yang hebat antara beliau dengan bapanya yang Ahlussunnah wal jama'ah (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.

Perjuangan memurnikan aqidah Islam

Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini." Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah.

Kehidupannya di Dir'iyyah

Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Bin Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."
Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"
Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan beliau yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.

Berdakwah Melalui Surat-menyurat

Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Demikian banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama baik di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun dari pihak kerajaan Saudi sendiri (pada masa mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka masing-masing.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Beliau dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Beliau dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H hingga kini.
Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, beliau ditikam dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.
Selain perlawanan sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam, para pengikut dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak kafir. Imperialis Inggris yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab beliau menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk syirik dan bid'ah, sedangkan Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada tauhid dan meninggalkan semua bentuk syrik dan bid'ah, niscaya mereka akan angkat senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah 'Wahhabi' dan merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut dakwah Syaikh Ibn Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci mereka.
Alhamdulillah, masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini lebih faham tentang apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab (yang dijuluki Wahabi) tersebut. Satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak mahu mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu 'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid Nabi dan melakukan salat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."

Tantangan Dakwah dan Pemecahannya

Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
  • Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
  • Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
  • Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
  • Golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
  • Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi pada masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar’iyah.
Beliau pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.

Wafat

Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd). Innalillah

Referensi

sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab

Badiuzzaman Said Nursi

Syaikh Sa’id An-Nursi adalah salah seorang ulama yang hidup pada masa Khilafah Islamiyah, lahir di provinsi Bitlis, yang terletak Turki Timur pada tahun 1877. Beliau adalah orang yang sangat cerdas pada masanya, beliau mampu menghafal Al-Quran hanya dalam waktu 2 minggu, dan menghafal 90 jilid kitab-kitab pokok islam, dan juga menguasai Bahasa Arab dan Parsi disamping Bahasa Turki dan Kurdi. Beliau telah menulis 3000 kitab dalam Bahasa Arab, dan juga mempelajari Ilmu Filsafat Barat dan peradabannya secara mendalam, dan juga telah menyusun 14 Ensiklopedi yang mencakup permasalahan islam modern. Beliau pelopor pertama pergerakan islam di Turki Modern dan beliau juga yang pertama kali berkonfrontasi dengan Negara Sekuler Turki setelah runtuhnya Turki Ustmani. Selama hidupnya, Syaikh Said Nursi telah dipenjara selama 28 tahun dan diasingkan sebanyak 21 kali, kebanyakan kitab-kitab karangannya ditulis di penjara atau di pengasingan.

Untuk pertama kali beliau belajar di Kuttab (madrasah) pimpinan Molla Mehmet Emin di desa Thag pada tahun 1886, disamping itu ia juga menerima pendidikan dasar dari ulama terkenal di daerahnya.

Pada tahun 1891, ia berangkat bersama seorang temannya menuju sebuah madrasah di Bayezids, salah satu daerah di Turki Timur dibawah bimbingan Syeikh Muhammad Jalali. Disinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama dasar. Karena sebelumnya ia hanya mempelajari ilmu Nahwu dan Sharaf saja. Ia belajar dengan segala kesungguhan dan secara intensif hanya dalam waktu tiga bulan saja, selama itu, ia juga mempelajari dan menghafal seluruh buku yang yang dipelajari di sekolah-sekolah agama. Disini ia mempelajari sekitar 80 kitab, diantaranya Jam’u al-Jawami’, Syarh al-Mawakif dan Tuhfah. Dari Madrasah ini juga ia mendapatkan ijazahnya.

Said Nursi berangkat menuju kota Van atas undangan walikotanya yang bernama Hasan Pasya pada tahun 1894. Kemudian ia pindah ke rumah Thahir Pasya. Dalam waktu yang relative sangat singkat, ia mampu menguasai matematika, kimia, ilmu falak, fisika, biologi, filsafat, sejarah, geografi dan lain lain. Dan berkat potensinya yang mampu menyerap berbagai disiplin ilmu dan otaknya yang sangat jenius, ia digelari Badiuzzaman (keajaiban zaman). Hal ini merupakan pengakuan dari para ulama atas kecerdasannya yang tajam, ilmu yang mendalam dan wawasannya yang luas.

Dengan latar belakang pendidikan yang telah dijelaskan, Said Nursi tidak puas dengan sistem pendidikan yang ada di Turki Utsmani. Ia berangkat menuju Istambul untuk menyampaikan usulan kepada pemerintah agar memdirikan sebuah madrasah yang bernama Madrasah Az-Zahrah yang mana ilmu agama diajarkan secara bersamaan di Turki Timur pada tahun 1907. Karena ia mengatakan “cahaya hati adalah ilmu-ilmu agama dan cahaya akal adalah ilmu sains modern. Hakikat akan terlihat jelas dengan menggabungkan keduanya. Ketika keduanya terpisah, maka akan timbul fanatisme pada salah satu (ilmu agama) dan skeptisme pada yang lain”. Namun tujuan ini tidak tercapai, karena pecahnya perang dunia I dan kondisi Turki Utsmani yang tidak stabil.

Ketika konstitusi kedua diundang-undangkan dalam sistem pemerintahan Turki Utsmani (23 Juli 1908), dia mendukung pemerintah konstitusional. Perhatiannya lebih difokuskan pada kegiatan orasi dan menulis makalah-makalah sebagai media untuk menjelaskan makna-makna kebebasan dalam islam dan pengaruh islam dalam kehidupan politik. Ketika terjadi pemberontakan pada 31 Maret 1909, ia ditangkap dan disidang di kemah-kemah tentara atas tuduhan menyebabkan kekacauan, ia telah mencoba menentramkan keadaan, akhirnya ia dibebaskan. Pada tahun 1910, ia pulang ke Turki Timur, ia berkeliling ke berbagai kota dan kawasan pedesaan termasuk kabilah-kabilah dalam rangka mensosialisasikan pemerintahan konstitusional dan makna kebebasan menurut islam kepada masyarakat. Dialog Said Nursi dengan masyarakat dibukukan dalam sebuah risalah Munazarat (debat-debat) dan diterbitkan pada tahun 1913.

Beliau pergi ke Damaskus untuk menyampaikan sebuah khutbah di Masjid Umaiyah tentang kondisi umat islam dan cara mengatasi masalah-masalahnya pada tahun 1911. Khutbah ini berbentuk enam “kata” yang menjadi obat bagi “enam penyakit yang mengerikan” yang menghambat perkembangan dunia islam. Penyakit itu adalah hidup dan matinya rasa putus asa, matinya kebenaran dalam kehidupan sosial, cinta kepada permusuhan, tidak mengetahui adanya tali suci yang menyatukan kaum muslimin, despotisme dan usaha untuk diri sendiri. Untuk mengatasi penyakit-penyakit yang melanda umt islam, said Nursi menawarkan beberapa obat, yaitu membangkitkan harapan,kejujuran,menjaga persaudaraan, menjaga persaudaraan antar umat islam, dan penerapan prinsip musyawarah. Khutbah tersebut diterbitkan beberapa tahun kemudian dengan judul Hutbe-I Samiye.

Badiuzzaman adalah seorang yang pencinta kedamaian, namun ketika perang dunia I meletus dan Turki Usmani terlibat, ia pun ikut memanggul senjata dan bergegas menuju medan perang. Said Nursi bersama para muridnya dengan segala daya ikut serta menghadapi Tentara Rusia. Dan selama terlibat dalam pertempuran tersebut ia berhasil menyelesaikan tafsirnya yang sangat berharga, Isyarat al-I’jaz Fi Mazhan al-I’jaz, dalam bahasa arab. Penyusunan tafsir ini dengan cara didiktekan kepada salah seorang muridnya yang bernama Habib.

Ketika pasukan Rusia memasuki kota Bitlis ia dan para muridnya berusaha mempertahankannya. Selama pertempuran ini Said Nursi terluka dan tertangkap oleh pasukan Rusia dan dibawa ke salah satu markas tawanan militer di Qosturma yang terletak di Rusia timur. Setelah Said Nursi berada di pengasingan sebagai tawanan perang selama dua tahun, ia berhasil melarikan diri dari sana, peristiwa ini terjadi setelah meletus Revolusi Bolsyevik.

Setelah ia pulang ke Istanbul, Nursi diangkat menjadi anggota Darul Hikmah Al-Islamiyah tanpa sepengetahuannya sebagai penghargaan kepadanya (13 Agustus 1918 M). para anggota Darul Hikmah ini hanya ulama terkemuka saja. Ketika Nursi berada di lembaga tersebut terjadi Transformasi yang menyebabkan perubahan Said lama ke Said baru. Pada masa ketika Inggris berhasil menduduki Istanbul (16 Maret 1920), Nursi berhasil menyelesaikan bukunya yang berjudul al-Khuthuwat as-Sitta (Enam langkah) yang mengkritik serangan Inggris.

Atas dasar jasa Nursi dalam Perang Dunia I dan perjuangan nasional, ia berulang kali diundang ke Ankara oleh Musthafa Kemal, hingga ia berangkat juga ke sana pada tahun 1922. Sayangnya ia tidak betah di Ankara karena melihat banyak para anggota Legislatif yang tidak shalat, suatu hal yang membuatnya sedih. Dengan demikian ia menyampaikan sebuah pidato yang memuat sepuluh materi kepada anggota dewan di Majlis Nasional pada tanggal 19 Januari 1923 agar mereka menjalankan kewajiban islam.

Pada tahun 1925,ada satu pemberontakan yang terjadi di Turki Timur dibawah pimpinan seorang pemimpin Thariqah Naqsabandiyah kepada pemerintahan Turki sebagai perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Republik Turki yang baru. Para pemberontak meminta dukungan Badiuzzaman karena ia sangat berpengaruh dikalangan rakyat. Tetapi ia menolak seraya berkata, “pedang boleh digunakan untuk musuh dari luar, ia bukanlah untuk digunakan di dalam negeri, hentikan usahamu karena ia akan gagal, ia akan menyebabkan pertumpahan darah sesama muslim dan beribu-ribu orang akan terbunuh lantaran tindakan beberapa orang yang zalim”. Walaupun Nursi tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut, ia diasingkan ke Burdur, Turki barat. Sejak itu, kehidupan Nursi dilewatinya di penjara atau pengasingan selama 24 tahun. Selama periode ini, ia mengaran master piece-nya, yaitu Risalah Nur.

Pertama kali ia diasingkan ke Burdur selama beberapa bulan pada tahun 1926. Setelah itu ia diasingkan ke sebuah desa bernama Barla yang terletak di kota Isparta. Para musuh keimanan mengira ia akan meninggal dunia di desa Barla tersebut hingga kenangan tentang dirinya akan sirna. Akan tetapi Allah sungguh Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya, Dia melindungi Syaikh Nursi dengan fadhilah dan kemuliaan-Nya. Hingga akhirnya daerah Barla menjadi sumber pancaran sumber keagungan cahaya Al-Quran. Nursi berhasil menulis sebagian besar karya, Risalah Nur dan menyebarkannya melalui murid-muridnya selama tinggal di Barla.

Setelah 8 tahun di Barla, dia dikirim ke Mahkamah Eskisehir untuk diadili dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar seperti membentuk organisasi rahasia, menentang pemerintah serta membentuk thariqat. Pemeriksa sedikit pun tidak berhasil membuktikan bahwa ia bersama muridnya terbukti melakukan apa yang dituduhkan. Namun demikian pengadilan tetap memvonis kurungan sebelas bulan kepadanya sebagai hukuman atas karyanya Risalah Hijab, mengenai cara pakaian wanita.

Setelah bebas dari penjara Eskisehir, Nursi dikirim ke tempat pengasingan kedua, yaitu Kastamonu pada tahun 1936 selama 7 tahun, selama tinggal di Kastamonu ia melanjutkan penulisan Risalah Nur, pada periode ini Nursi selalu berkoresponden dengan muridnya secara rahasia, surat-suratnya disalin dan disebarkan ke kampung-kampung, desa-desa dan kota-kota di sekitar Kastamonu. Dengan kegiatan ini, aktivitas menyalin pun tumbuh dan berkembang. Diantara para murid yang menyalin ini sampai ada yang menyalin lebih dari seribu surat. Langkah ini akhirnya membuahkan enam ratus ribu eksemplar manuskrip Risalah Nur.

Pada tahun 1943 Nursi dikirim ke Denizli untuk dipenjara dengan tuduhan-tuduhan yang telah dijelaskan diatas. Pengadilan membentuk tim ahli untuk meneliti Risalah Nur. Hasil penelitian mereka menegaskan, bahwa dalam Risalah Nur tidak ditemukan unsur yang mengharuskan Nursi didakwa dengan tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan kepadanya. Kemudian pada tanggal 15 juli 1944 dikeluarkan ketetapan pengadilan bahwa Said Nursi bebas dari segala dakwaan yang dituduhkan kepadanya.

Setelah dibebaskan dari penjara Denizli, Nursi diharuskan menempati sebuah rumah di Kecamatan Emirdag di Afyon. Dia tinggal di Emirdag zampai tahun 1948. Selama 4 tahun itu ia telah banyak mendapat kunjungan dari kalangan masyarakat dan banyak mendapat murid. Ia juga telah berusaha menyebarkan Risalah Nur ke seluruh pelosok turki melalui pembaca Risalah Nur (Thullab An-Nur).

Pada tanggal 23 Januari 1948 M. polisi menggerebek dan menggeledah rumah Nursi ia bersama muridnya ditangkap dan dijebloskan ke sel rutan kota Afyon. Kali ini pun dakwaan sama dengan dakwaan yang dijatuhkan kepadanya sebelumnya. Padahal pengadilan sebelumnya telah menyatakan bahwa Nursi dan muridnya bebas dari dakwaan tersebut. Sidang pengadilan berjalan lama dan berakhir pada tanggal 6 desember 1948. Dia divonis penjara dua puluh bulan. Sedangkan vonis yang dijatuhkan kepada muridnya tidak seragam, bahkan ada yang dibebaskan. Nursi menolak vonis ini dan menyatakan banding. Dalam pengadilan tinggi ia dinyatakan bebas dari segala dakwaaan yang dituduhkan. Namun ia telah mejalani hukuman penjara tersebut. Karena pengadilan Afyon memperlambat pembebasan tersebut dengan berbagai alasan.

Selama masa pengasingan dan penjara (1926-1950), halaqah pengajian tumbuh dan berkembang. Sementara itu para muridnya pun aktif mempelajari Risalah Nur dan menyalin dan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru Turki. Nursi bangkit untuk menyelamatkan iman dikalangan masyarakat Turki. Menyelamatkan iman, inilah tugas pokok dan utama yang tidak boleh ditempuh dengan sikap tergesa-gesa dan emosi yang tidak terkendali, namun tidak boleh juga dinomor-duakan. Semua penjara menjadi Madrasah Yusufiah yang mana para napi mempelajari agama disana.

Setelah tahun 1950 Nursi memasuki periode Third Said (Said ketiga). Aspek Third Said ini langsung terkait dengan kemenangan Partai Demokrat pada tahun 1950. Tetapi keterlibatan Nursi dalam bentuk dukungan dan bimbingan kepada partai digambarkan sebagai ahwan as-Syarr (yang paling sedikit keburukannya diantara yang buruk). Dia memilih Partai Demokrat untuk menghalangi Partai Republik agar tidak memerintah kembali.

Pada periode ini juga Nursi tinggal bersama murid-murid dekatnya untuk membimbing mereka dan mengajar metode dakwah Risalah Nur. Selain itu, halaqah pengajian Risalah Nur berkembang dan telah dibuka dersane (tempat studi Risalah Nur) di seluruh Turki. Di samping itu, percetakan Risalah Nur dibebaskan dengan keputusan pengadilan pada tahun 1956 dan Risalah Nur dicetak dan disebarkan di seluruh Turki.

Dengan pengabdian panjang untuk masyarakat Turki, Nursi meninggal pada tahun 1960. Dan penguasa belum merasa puas dengan tindakannya terhadap Syaikh Nursi, sehingga mereka membongkar makam Syaikh An-Nursi 3 bulan setelah wafatnya dan membuang jasadnya ke tempat yang tidak diketahui. Tetapi pengaruh Nursi tetap eksis dalam masyarakat Turki melalui karya-karya yang dihasilkannya. Dan saat ini, sebagian Risalah Nur sudah diterjemahkan dam 30 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

Selasa, 26 Februari 2013

Hidupkan Sunnah3

10 ALASAN MEREKA TIDAK MAU MENINGGALKAN SELAMAT KEMATIAN TAHLILAN

Assalamu'alaikum warahamatullahi wabarakatuhu.

,“Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Begitulah gambaran Umat Islam saat ini.

Islam telah melekat di dada kaum muslim sudah sekian generasi sampai detik sekarang ini.Merupakan anugrah dan hidayah secara umum yang sangat besar dari Allah سبحانه و تعال
Namun sangat sedikit yang mendapatkan hidayah sunnah.

Mayoritas dari umat Islam sudah puluhan tahun mengamalkan dienul Islam namun sangat disayangkan dari sekian jumlah yang mendominasi beragama Islam, diperkirakan sampai 89% dari jumlah penduduk Indonesia,mungkin baru 10% atau kurang dari itu yang tahu dan mengamalkan islam.Alangkah menyedihkan dan sebuah musibah besar bagi kaum muslimin di negara ini.

Begitu mudah umat Islam di guncang/diselundupi ajaran-ajaran yang menyerupai ibadah Islam yang mengatas namakan ibadah dari Islam oleh agama lain,NAMUN MEREKA TIDAK SADAR BAHWA YANG MEREKA BAWA DAN AMALKAN ADALAH BUKAN AJARAN DARI ISLAM,ini dikaranakan mayoritas umat Islam jauh dari ajaran Islam yang dibawa nabi Muhammad . صلى الله عليه وسلم,

sehingga mereka aqidahnya rapuh,tidak bisa memfilter,mana yang ajaran dari Islam atau bukan.Kecenderungan berbuat bid’ah sangat besar akibat minimnya ilmu yang dimilikiknya.

Banyak Ustadz yang berdakwah belum cukup ilmu berani berfatwa sehingga banyak kaum muslimin tersesasat karena ajaranya.Umat Islam akhirnya tercerai berai dikarenakan kejahilan dan jauhnya mereka dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku.

Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan?

Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan?

Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku.

Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?”

Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”.
(Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)

Kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya.

Demikianlah sadar ataupun tidak banyak ibadah-ibadah yang bukan dari Islam dibela-bela,baik orang awam maupun mereka yang tampaknya berilmu.

Berikut akan saya tulis berbagai alasan kenapa mereka tidak mau meninggalkan ritual selamatan kematian tahlilan:

1.Merupakan warisan para wali songo di tanah jawa yang mereka kultuskan dan menganggap semua yang dari wali songo adalah tidak boleh diganggu gugat dan tidak boleh dikoreksi lagi, walaupun ditimbang dari para ulama sebeluma generasi para wali, bahkan walaupun selamatan kematian tahlilan sebagai alat ukur adalah Al-Qur-an dan Khadist,tetap mereka tolak.

2.Termasuk dari bagian adat jawa yang telah ada sebelum datang ajaran Islam dan beranggapan harus dilestarikan walaupun menyelisihi dalil yang ada.

3.Merupakan tatanan yang sudah baku dari pendahulunya(kakine,ninine)/nenek moyangnya dan juga mereka yang mebela dan memimpin acara tersebut para Kiyai sampai sekarang.

4.Umumnya kaum muslimin sangat minim terhadap ilmu Islam yang shahih,malas belajar ilmu khadist dan Qur-an dan kitab-kitab ulama besar.Walaupun ditunjukan dengan ilmiah dari ulama pendahulu tentang mereka mengingkari selamatan kematian tahlilan,mereka ngeyel dengan pendapat sendiri atau hawa nafsunya.

5.Kuatnya ajaran Tasawuf di Indonesia yang mendominasi dan merebaknya ajaran Agama Syi’ah,kedua firqoh ini sangat gemar memuja dan meminta berkah di kuburan,sehingga sangat gemar dengan selamatan kematian tahlilan.

Tentang ajaran Tasawuf dan Syi’ah lebih jelas coba buka kembali di posting saya terdahulu dibawah!...tidak saya jelaskan di profil ini!

5.Merupakan ibadah dan paling benci kalau selamatan kematian tahlilan dikatakan bid’ah.Dengan berbagai cara mereka bela demi melestarikan selamatan kematian tahlilan

6.Tahlilan merupakan termasuk syi’ar Islam.Alasanya disitu bisa bertemu dengan karib kerabat yang mungkin lama tidak bertemu.Dengan selamatan kematian tahlilan umat akan bersatu,berduyun-duyun mereka bepesta makanan minum,bahkan pulangnya di bawakan oleh-oleh(berkat),ditas musibah orang lain,apakah layak di sebut syi'ar Islam...?

7.Taqlid buta,beranggapan KALAU YANG MENGERJAKAN KIYAI MASA SALAH...!tidak mau koreksi,apapun yang Kiyai perintahkan dan ajarakn,pasti benar,mereka tidak mau tahu pakah nabi mencontohkan atau tidak.

8.Kyai bahkan ulamalah yang mempelopori ritual tersebut,dengan pembelaanya yang kelihatan ilmiah dengan di iringi dali-dalil (walaupun tidak nyambung)sehingga bisa meyakinkan umat.

9.Beragama Islam mengikuti kebanyakan orang/mayoritas umat.Padahal kebenaran Islam tidak diukur dengan mayoritas umat. Tolak ukur Islam adalah Qur-an Dan Sunnah.

Kebanyakan manusia menyesatkan :
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ
“Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah (Qs:al An’aam:116)

10.Tidak ada dalil yang melarang selamatan kematian tahlilan.
Ibadah adalah sifatnya Taufikiyah(mengikuti yang telah di contohkan) oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.Tidak harus menunggu dalil pelarangan.

sebagai contoh kita melakukan adzan dan komat pada shalat tarawih,apakah boleh?padahal tidak ada dalil yang melarang.Sebagai jawaban adalah karena nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak melakukan maka kitapun jangan coba-coba berinisiatif melakukan yang demikian