Selasa, 31 Maret 2015

cara mengajar hafalan Al-Quran untuk anak dari usia dini

Cara Mengajarkan Anak Menghafal Al Qur'an Sejak Dini 

   1. Bayi (0-2 tahun)
       ~ Bacakan Al Qur'an dari surat Al Fatihah
       ~ Tiap Hari 4 kali waktu (pagi,siang,sore,malam)
       ~ Tiap satu waktu surat diulang 3kali
       ~ Setelah hari ke-5 ganti surat AnNaas dengan metode yang sama
       ~ tiap satu waktu surat yang lain-lain diulang 1-2 kali

  2. Diatas 2 tahun
      ~ Metode sama dengan teknik pengajaran bayi, jika kemampuan mengucapkan kurang, maka tambah waktu menghafalnya, misalkan dari 5 hari menjadi 7 hari
      ~ Sering dengarkan murottal

 3. Diatas 4 tahun
    ~ Mulai diatur konsentrasi dan waktu untuk menghafal serius
    ~ Ajari muroja'ah sendiri
    ~ Ajari menghafal sendiri
    ~ Selalu dimotivasi, supaya semangat selalu terjaga
    ~ waktu menghafal 3-4 kali sehari
   
Allahummaj'alna fii ahli Qura'an, Allahumma Baarik fii auladina wa dzurriyatina bil qur'an
Allahummarzuqna istiqomah fii tilawati wa hifzil qur'an... Aamiiin Allahumma Aamiiin



Jumat, 06 Juni 2014

perempuan tua seberang kampus al azhar



Al Qahirah in lam yuqahhirha qahharak, jika kamu tidak mampu menundukkan kairo, maka kairo lah yang akan menundukkanmu, begitulah kiranya kalimat yang diungkapan oleh seorang Jauhar as-Siqli, panglima perang sultan Muiz Li dinillah di zaman kekuasaan dinasti Fatimiyah di Mesir, pada awal mulanya sultan Muiz lah yang menginstruksikan kepada Jauhar as Siqli supaya mencari suatu tempat sebagai basis kekuasaannya pada masa itu, dan akhirnya kota inilah yang dipilih oleh sang panglima dan dinamai dengan Kairo. Mungkin kalimat itu terucap bukan tanpa alasan yang mendasarinya, namun ucapan itu keluar karena sang panglima memang sejatinya mengetahui dengan benar kondisi kota Kairo ini, bagaimana kehidupan yang ada disana, serta berbagai ragam persoalan lain yang senantiasa mewarnai kehidupan disana.

Dari nama yang dicetuskan oleh sang panglima inilah, sampai sekarang nama kota ini begitu membahana di seantero jagad. Bicara mengenai Kairo, tentunya kita tidak akan bisa melepaskannya dari nama al-Azhar, tepatnya di Kairo inilah terdapat masjid al-Azhar, masjid megah dengan berbagai unsur latar sejarah yang begitu berkesan, terkhusus bagi umat Islam. Masjid yang berdiri sejak lebih dari satu abad yang lalu ini dulunya pernah di jadikan sebagai basis penyebaran aliran Syiah di Mesir, sampai pada akhirnya sultan Shalahuddin al Ayyubi berhasil menaklukkan dinasti Fatimiyah dan memindah tangankan masjid al-Azhar kepangkuan umat Islam Sunni, dan bertahan sampai hari ini. Di masjid ini pulalah lahir orang-orang besar, para ulama besar Islam lahir di masjid ini, karena memang selain sebagai tempat ibadah, masjid al-Azhar adalah merupakan basis pengajaran khazanah keilmuan Islam. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan beberapa tahun berselang, sebagai bentuk perwujudan transformasi ilmu yang lebih formal, berdirilah Universitas al-Azhar, tepatnya kira-kira 50 meter dari masjid al-Azhar, tentunya sebelum mengalami berbagai perluasan dan pembangunan yang tersebar di tempat lain di Kairo, bahkan di berbagai provinsi di Mesir.

Bicara tentang Kairo, terlepas dari kemegahan masjid al azhar dan pengaruh besar universitas al-Azhar yang merupakan Universitas tertua kedua setelah Universitas al-Qayrawan yang berada di Maroko, kita harus menyadari bahwa kita sedang membicarakan ibu kota suatu Negara, yang bagi kebanyakan orang, ibu kota adalah tolak ukur utama suatu Negara, terlebih bagi orang asing, maka yang paling familiar di telinga mereka, jelas ibu kota Negara tersebut, bukan mengherankan memang, karena di Negara manapun, yang selalu menjadi sorotan adalah kondisi ibu kotanya, sebagai padanan mungkin bisa kita tarik relasi dengan Negara kita nun jauh disana, Indonesia, ibarat penyakit mungkin bisa dibilang kalau kondisi ibu kota kita sudah sangat akut, berbagai persoalan ada disana, sebut saja salah satunya ialah masalah GEPENG( gelandangan dan pengemis), yang seakan semakin hari semakin bertambah, meski berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak terkait, namun hasil akhir tidak berbanding lurus dengan realita yang ada, GEPENG(gelandangan dan pengemis) pun bermunculan bak cendawan di musim penghujan, terlebih ketika arus balik paska idul fitri, jumlahnya semakin membludak di ibu kota, hal tersebut karena derasnya arus urbanisasi penduduk desa yang mencoba mengadu nasib di ibu kota, namun tanpa diimbangi dengan life skill yang memadai, akhirnya mau tidak mau mereka harus menjadi GEPENG(gelandangan dan pengemis) untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kita endapkan sejenak masalah yang ada di ibu kota Negara kita, kini yang sedang menjadi objek sorotan adalah kota-nya Jauhar as-Siqli, kota Kairo. Kairo yang mungkin bagi banyak orang yang belum pernah menginjakkan kaki nya di bumi para Nabi ini, mungkin hanya bisa melihat sisi indah dari kota ini, karena memang yang tersaji adalah demikian adanya, namun setelah kita menyelusuri jalanan kota ini, kita akan menemukan hal yang sangat kontras dan mungkin belum pernah terbersit dibenak kita sebelumnya.

meski permasalahan yang ada tidak se akut di Jakarta, namun dalam permasalahan GEPENG(gelandangan dan pengemis) ini, Kairo tidak jauh berbeda dengan Jakarta, hampir di sepanjang jalanan kota Kairo akan sangat mudah kita temui pengemis yang acapkali mengayunkan tanganya seiring dengan langkah para pejalan kaki didepannya, meski dengan berbagai macam cara, mulai dari memberikan permen atau tisu terlebih dahulu , atau bahkan dengan berceramah singkat terlebih dahulu, tapi, tetap saja esensinya adalah mereka sama-sama meminta belas kasih dari orang lain.

Jum’at pagi, sang pusat tata surya itu menyapa dengan begitu ramah, memancarkan sinar kehangatan yang ,menghapus sisa-sisa embun semalam, secercah cahaya sebagai asupan energi  untuk memulai hari dengan pasti, meski sang angin mencoba merayu dengan sedikit sentuhan dingin yang mencoba membuyarkan semangat yang sudah sampai di ubun-ubun kepala. Salakan anjing mengiringi langkah kecilku dari ujung tepi kota kairo, serasa sudah sangat biasa bagiku yang memang hampir setiap hari melewati jalanan tersebut menuju mahattah bis Tabbah, sebuah desa di ujung tepi kota Kairo, yang mungkin tak banyak dari mahasiswa Indonesia yang tinggal di daerah ini, dengan perhitungan harus dua kali ganti bis kala pergi kuliyah, dan memang terkesan agak kumuh, faktor lain yang lebih penting adalah dari segi keamanan, karena daerah ini terkenal sebagai sarang penyamun, hal tersebut sudah sangat familiar di benak para Masisir, maupun orang mesir asli sendiri,  namun selama aku belum menjumpai keganjilan-keganjilan atau keamanan yang mengancamku, aku tetap pada prinsip, bahwa penyamun tidak akan menyamun rumahnya sendiri. 

Bis nomor 995, dengan sabarnya menunggu para penumpang yang ingin menggunakan jasanya, dan kali ini termasuk aku juga yang akan menggunakan jasanya, aku pilih tempat duduk paling belakang, supaya bisa leluasa mengamati pemandangan sekitar yang mulai berbalut debu. Bis melaju perlahan dan sejurus kemudian, kenek bus datang menghampiriku untuk menagis ongkos bis, aku merogoh uang lima puluh pound dari dalam tas ku dan kuserahkan kepadanya, masih ada kembalian empat puluh Sembilan pound pikirku, karena memang ongkos bis di Mesir jauh dekat cuma satu pound, namun seper sekian detik kemudian, suara kenek bis membuyarkan pikiran saya yang lagi menghitung-hitung uang kembalian saya,
 Maafisy fakkah? Gak ada uang receh?, Tanyanya sambil mengayunkan kembali uang lima puluh pound ke arahku,
Maafisy fakkah kholish gak ada sama sekali, jawabku,
Izzay? Bagaimana donk? , imbuhku,
Mesyi birohtak, saajiblak ba’din ya sudah tidak apa-apa, akan ku kasihkan nanti, jawabnya sambil pergi meninggalkanku,
Dari jawabannya aku paham kalau dia belum ada kembalian, memang lagi sepi penumpang, karena hari Jum’at adalah hari libur di Mesir, baik pekerja maupun pelajar banyak yang biasanya bergelantungan di bis, sama sekali tidak Nampak batang hidungnya.

 Tidak sampai satu jam aku sudah sampai di kampus Universitas al-Azhar, jam di hand phone menunjukkan pukul 9 pagi, dan tentunya kepergianku kali ini bukan untuk kuliyah, karena hari Jum’at kuliyah juga libur, aku berjalan santai di sisi kampus Universitas  al-Azhar, namun sejurus kemudian  mata ini tertuju pada sebuah pemandangan yang hampir setiap hari memang sangat mudah dijumpai di sepanjang pagar kampus al-Azhar, pengemis yang berjejer rapi di sepanjang jalanan, menunggu rizkinya di Jumat barakah ini, meski mata ini sudah sangat terbiasa dengan pemandangan tersebut, namun mumpung kali ini lagi libur kuliyah,  aku putuskan untuk menghampiri salah seorang dari mereka, lumayan bisa kuliyah bahasa ammiyah Mesir sejenak,
Robbuna yuftah alaik, Robbuna yunajjah, begitulah lantunan doa yang senantiasa keluar dari mulutnya,
Assalamualaikum yaa umii, assalamualaikum bu sapaku
Alaikumuusalam yabnii, alaikumussalam nak balasnya
Khaifa haalak yaa ummi bagaimana kabarnya bu
Alhamdulillah bi khoir Alhamdulillah baik
Hatlii fuluus yabni ma akaltusy saya minta uangnya nak ,  saya belum makan terusnya,
Khuth yaa ummi ini bu ambil,, Sembari saya kasihkan uang satu pound saya sertakan pula satu potong kue isy dan satu tokmeya, keduanya adalah makanan khas Mesir, kue isy mungkin ialah layaknya nasi bagi orang Indonesia, bukan karena di Mesir tidak dijumpai nasi, tapi memang karena yang pokok bagi orang Mesir adalah kue isy itu, sejalipun di meja tersedia nasi, tapi tetap saja disertakan kue isy.

Perempuan tua asal Manshea itu bernama Nadiyah, umurnya lima puluh tahun, hari-hari tuanya ia jalani dengan menjadi pengemis di dekat kampus Universitas al-Azhar, tepatnya di samping pagar gedung fakultas syariah, di daerah Darrasah ini memang cuma terdapat tiga fakultas, sedangkan fakultas-fakultas yang lain tempatnya terpisah, tentunya dengan gedung yang lebih baru, tiga fakultas di gedung lama universitas al-Azhar ini ialah fakultas bahasa arab, ushuluddin dan tentunya fakultas syariah, sempat ada wacana bahwa gedung lama ini mau ditutup dan perkuliyahan semuanya di konsentrasikan di satu kawasan bersama gedung-gedung fakultas yang baru, tapi entah apa masalahnya, sehingga itu cuma beredar sebagai wacana dan tak kunjung diwujudkan, namun apapun masalahnya, jelas tidak gampang untuk me non aktifkan gedung yang berdiri di awal sejarah universitas al-Azhar ini, banyak sejarah yang telah lahir dari rahim gedung tua tersebut. 

keadaan memang yang memaksanya untuk menjalani aktifitas tersebut, ekonomi keluarga tentunya yang menjadi latar belakang semua itu, apalagi sepeninggal suaminya sepuluh tahun yang lalu, ia terpaksa menjadi penopang utama ekonomi keluarga,
Ana asuffak kulla yaum hina ya ummi aku melihatmu tiap hari disini bu
Aywa, min sa’ah tsamaniyah ilaa sa’ah arba’ah ba’da al ashr ana hina iya, dari jam delapan pagi sampai jam empat sore saya disini
Kam ta’khuth fulus  kulla yaum yaa ummi? Berapa uang yang bisa anda dapatkan tiap harinya bu?
Mumkin khomsah au asroh au isriin mungkin sekitar lima, sepuluh atau dua puluh pound,
Mendengar jawaban dari ibu tua itu, aku jadi berpikir, bagaimana mungkin ia bisa hidup dengan uang cuma segitu, memang bisa dibilang kebutuhan makan sehari-hari di Mesir tergolong sangat murah, namun yang jelas orang hidup itu tidak hanya butuh makan saja, banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi, apalagi kalau ditambah kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak terduga, tentunya uang segitu jauh dari cukup.
Cuma sesaat memang aku berbincang dengannya, tapi aku cukup bisa menarik kesimpulan bahwa Mesir mengalami permasalahan yang walaupun tidak sama, tapi mirip dengan yang di alami Indonesia tentang permasalahan GEPENG(gelandangan dan pengemis) ini.
Aku pun mulai beranjak dari tempat duduk ku di samping pengemis itu, melihat aku mulai akan berdiri meninggalkannya, ia pun kemudian menegurku kembali,
Yabni, hatlii fulus kaman kasih saya uang lagi nak,
Kholas yaa ummi sudah itu tadi bu, jawabku sambil berjalan meninggalkannya,
Tentunya bukan karena aku tidak peduli, tapi memang cukuplah dulu segitu pemberianku.
Ibu tua tadi mungkin telah mewakili dari sekian banyak penduduk Mesir yang tergolong sebagai warga miskin. Pada pertengahan bulan Februari tahun 2013, Badan Statistik Mesir menyebutkan bahwa dari 84 juta populasi penduduk Mesir, 50% diantaranya berada di bawah garis kemiskinan, sangat memprihatinkan memang, kondisi inipun semakin parah, dengan belum stabilnya situasi dalam negeri Mesir semenjak seusai reformasi 25 Januari 2011 silam.

Sang surya pun mulai meninggi, mulai sedikit terasa panas diubun-ubun kepala, namun aku tidak mau jum’at ku kali ini sia-sia, kulangkahkan lagi kaki yang sudah mulai berat ini, menuju pelataran masjid Sayyidina Husain, masjid ini letaknya tidak jauh dari masjid al-Azhar, tidak sampai lima menit jalan kaki, masjid ini hampir tiap hari ramai, karena di dalam masjid ini, ada makam salah seorang cucu Nabi Muhammad, yaitu Sayyidina Husain, sesuai dengan nama masjid tersebut, selain itu,di dalam masjid ini juga terdapat peninggalan-peninggalan sejarah Islam, salah satunya ialah pedang Dzulqarnain, pedang Nabi yang kemudian diberikan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Sembari berjalan, aku teringat adagium dari seorang bapak ekonomi dunia, Adam Smith, bahwa tidak mungkin suatu masyarakat bisa berkembang dengan subur dan bahagia, apabila sebagian besar warganya hidup dalam keadaan miskin dan sengsara, adagium yang mengingatkanku pada seorang ibu tua dengan masalah yang dihadapinya, serta banyak lagi warga Mesir lainnya. Suatu keadaan yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku ketika aku membayangkan Negara nan cantik jelita bak Cleopatra, Negara yang begitu mempesona dengan kemegahan al-Azhar dan perkasanya sang piramida, Negara dengan keindahan panorama sungai Nil dan Alexandria, dan ternyata Mesir tidak seindah ayat-ayat cintanya Kang Abik.

Satu benang merah dapat ditarik mengenai permasalahan Mesir dan Indonesia, yaitu masalah kemiskinan yang merebak di seantero penjuru negeri, padahal sejatinya hal tersebut aku yakin bisa di atasi atau paling tidak, minimal bisa di minimalisir jumlahnya, tentunya dengan penanganan yang tepat dan juga peran penting pemerintah dan lembaga terkait tentunya jadi hal yang sangat berpengaruh dan menentukan akan hadirnya solusi yang tepat untyuk mengatasi permasalah tersebut,  sehingga masyarakat bisa menikmati kebahagiaan dalam kesehariannya, bukan malah menderita dalam setiap jengkal langkahnya, bukankah kebahagiaan itu adalah hak setiap jiwa, jikalau segolongan masyarakat  bisa merasakan kebahagiaan tersebut, mengapa segolongan yang lain tidak bisa merasakannya. Dan memang kebahagiaan itu milik presiden, tapi kebahagiaan juga milik pengamen, kebahagiaan milik menteri, tapi kebahagiaan pun milik petani,  kebahagiaan milik artis, tapi kebahagiaan pun milik pengemis.

Oleh Fahrudin Al Brengkoi

Sabtu, 06 Juli 2013

Hatiku miris karenanya

     Mulut ini terkunci tak dapat berkata-kata lagi, sebuah kesedihan telah menyerang jantungku. Tak pernah terbayangkan kalau ini begitu cepat terjadi. Mesir masih dalam tahap perbaikan dari rezim kezholiman menjadi kebaikan, setelah puluhan tahun dibawah bayang-bayang ketidak adilan, sampailah keinginan hati rakyat terwujud dengan turunnya presiden yang tidak memperhatikan hak-hak rakyat.
    Tapi hari ini peristiwa besar terjadi lagi, Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat akhirnya juga diturunkan oleh tangan-tangan rakyat yang tidak puas dengan pemerintahannya. Mereka yang bersatu dalam kelompok-kelompok besar, sekuler,kristen koptik dan preman-preman yang dipersenjatai.
   Malam ini dipertengahan jalan pulang menuju asrama Alazhar, jalanan penuh sesak oleh kendaraan dan wajah-wajah orang mesir yang penuh dengan gejolak dan panas. Di dalam bis yang saya tumpangipun cukup bising dan ramai dengan suara orang mesir yang bertengkar dan teriak-teriak antara pendukung presiden mursi dan penentangnya. Kawasan Rob'ah adawea penuh oleh masa dan tentara yang bersenjata lengkap besrta puluhan tank-tank yang berjajar.
    Jam delapan malam waktu kairo, sayapun akhirnya sampai di asrama Al-Azhar dengan selamat. Tak lama setelah sampainya aku di asrama, suara-suara kembang api yang dilontarkan ke udara berdentum dimana-mana. Mereka merayakan presiden yang sah akhirnya dikudeta oleh militernya sendiri, dan disambut dengan suara klakson mobil diseluruh jalan kairo, mereka kelompok oposisi merayakan kemenangannya.
    Dan ribuan pendukung presiden tidak puas dengan kezholiman ini, termasuk diriku yang merasa sedih karenanya. Hanya pada Allah lah semua urusan kami kembalikan.

                                                                                                          Cairo,04/Juli/2013.
   

 

Senin, 01 April 2013

Cinta ini.....

Cinta....
sebuah kata yang paling sering diucapkan
dimanapun itu..... walaupun dengan berbagai ungkapan...
Al-hubb, love,lieben,aemer...dll.

pastilah ada sesuatu yang besar dibalik kata ini....
ya itulah cinta....
terkadang orang yang lemah karenanya menjadi kuat
orang sedih menjadi riang....
yang marah bisa memaafkan....

terkadang juga membingungkan.... ia datang dan pergi
tampa ada kesepakatan sebelumnya....
yang terkadang menyakiti sebuah hati
dan memberi kebahagian kepada hati yang lain.

orang yang jatuh cinta seakan merekalah yang memiliki
semua yang ada dimuka bumi ini....
dan sebaliknya orang putus cinta....
seakan bumi ini dan semua isinya tidak bersahabat lagi dengannya.
ya itulah penomena cinta....

tapi cinta ini akan indah jika dirawat dan dilandasi
oleh batasan dan aturan Sang Pencipta cinta Allah subhanahuwataala.

semoga cinta kita suci dan abadi.


Rabu, 27 Maret 2013

♥ CINTAKU IBARAT TAJWID ♥

~Muhammad Irhandy Dalimunthe~

♥ CINTAKU IBARAT TAJWID ♥

Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah...

hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar...

Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billaghunnah, terlihat, tapi dianggap tak ada...

Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar,
jelas dan terang...

Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta...

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba-tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain...
melebur jadi satu.

Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil...Paling panjang di antara yang lainnya...

Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro.. terpantul-pantul dengan keras...

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu..

Sayangku padamu seperti mad thobi'I dalam quran... Buanyaaakkk beneerrrrr....

semoga dalam hubungan., kita ini kayak idgham bilaghunnah ya,cuma berdua, lam dan ro' ..

Layaknya waqaf mu'annaqah, engkau hanya boleh berhenti di salah satunya. dia atau aku?

Meski perhatianku ga terlihat kaya alif lam syamsiah,
cintaku pdmu spt alif lam Qomariah, terbaca jelas...

kau & aku spt Idghom Mutaqooribain..perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya...

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim,terhenti sempurna diakhir hayat...

Sama halnya dgn Mad 'aridh dimana tiap mad bertemu lin sukun aridh akan berhenti,seperti itulah pandanganku ketika melihatmu.

Layaknya huruf Tafkhim,Namamu pun bercetak tebal di fikiranku

Seperti Hukum Imalah yg dikhususkan untuk Ro' saja,begitu juga aku yang hanya utkmu.

Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun ......♥ ♥ ♥

Selasa, 05 Maret 2013

MFD (marhalah family day)

insyaallah pada hari ini akan dilaksanakan acara Marhalah Family Day (MFD) 2013.
pada tahun ini kita yang kebagian panitia.... dan ana sendiri jadi ketua MFD.
marhalah family day adalah ajang silaturrohim antara penghuni asrama Al Azhar, Cairo.
dan diadakan setiap tahunnya.... bersamaan dengan kedatangan mahasiswa baru...

marhalah yang akan ikut serta ada empat marhalah, yaitu marhalah Eternal Flame, ini marhalah ana dan teman, marhalah amazing, marhalah bizantium, dan marhalah nosr.

acara ini akan dilaksanakan di nadhi thola'i yang bertempat di rob'ah adawea/distrik empat.
adapun acaranya adalah ajang olahraga....lomba basket,futsal volly dll....
semoga sukses..... amiin...


Rabu, 27 Februari 2013

Hak Istri atas suami.

Syariat mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya yang berupa  kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing, atau seperti yang dikatakan oleh  Al-Qur’an “bil ma’ruf” (menurut cara yang ma’ruf/patut).
Namun syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang  manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: “Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu.”
Bahkan Al-Qur’an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Rum: 21)
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami istri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan,  bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami istri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru—padahal diri mereka sebenarnya baik—ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap istri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (istri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami istri dan adab pergaulan di antara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Di antara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah itu ialah berakhlaq yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya.
Allah berfirman: “… Dan gaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (patut)…” (QS An Nisa’: 19)
“… Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa’: 21)
“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim,  orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…” (QS An Nisa’: 36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman sejawat” dalam ayat di atas ialah istri. Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa berakhlaq baik kepada mereka (istri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW. Istri-istri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela.”
Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu?”
Beliau menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad,’ dan bila engkau  marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’
Aisyah  menjawab, “Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa di samping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan istri, juga bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah SAW biasa bergurau dengan istri-istri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlaq, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar bin Al-Khathab—yang dikenal berwatak keras itu—pernah berkata, “Seyogianya sikap suami terhadap istrinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki.”
Dalam menafsirkan hadits: “Sesungguhnya Allah membenci alja’zhari al-jawwazh,”  dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap keras terhadap istri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna firman Allah: ‘utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah SAW. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan agama, memelihara jamaah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau tetap sangat memperhatikan para istrinya. Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri  ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Namun sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak istri-istri beliau yang harus beliau penuhi. Jadi aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.
Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli istri, Imam Ibnu Qayyim berkata, “Sikap Rasulullah SAW terhadap istri-istrinya ialah bergaul dan berakhlaq baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila istrinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari  suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah.”
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al-Qur’an sedang kepala  beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau  menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan pernah juga  menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.
Di antara kelemah-lembutan dan akhlaq baik beliau lagi ialah beliau memperkenankan istrinya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan orang-orang  Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.
Sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”
Apabila selesai melaksanakan shalat Ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) istri-istrinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah istri beliau yang pada waktu itu mendapat giliran. Aisyah berkata, “Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang  lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap istri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada istri  yang menjadi  giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ.”
Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip di sini mengenai petunjuk Nabi SAW tentang pergaulan beliau dengan istri-istri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi  beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih. Namun ini bukan berarti beliau   bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.
Beliau menikahi Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan di sini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja. Bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting  dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat  Nabi SAW selalu ingat aspek tersebut  dan senantiasa memberikan haknya serta tidak  pernah melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar, seperti mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu.” 

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, DR. Yusuf Qaradhawi
(RoL)
Redaktur: HendratnoKeyword: , ,
dakwatuna.com